Kemarin malem gue tiba-tiba keinget sama salah satu kejadian pelecehan seksual yang pernah gue alami, eeehhh hari ini lagi heboh sama pelecehan seksual yang dialami pasien di Rumah Sakit N Surabaya.
Seperti biasa, postingan ini akan jadi postingan yang panjang. Lol. Typical postingan gue yak mihihihi.
Membahas pelecehan seksual itu terkadang bikin orang meringis dalam hati. Seakan-akan itu hal yang tabu. Seakan-akan itu hal yang bikin malu, aib. Padahal, seringkali pelecehan seksual itu terjadi di sekitar kita bahkan terjadi pada kita sendiri. Entah kita sadari atau tidak.
Semalem gue jadi pengen bahas ini karena gue tiba-tiba keinget sama salah satu bapak kenalan gue. Katakanlah dia Pak Amin.
Awal ketemu Pak Amin, gue merasa dia orangnya baik. Kebapakan. Ramah. Memang sih dia terkadang suka menepuk-nepuk pundak, atau mengusap punggung gue ketika ngobrol. Tapi gue anggap itu sebuah friendly gesture.
Lama kelamaan, gue mulai tidak nyaman karena dia bisa terus mengusap punggung gue selama kita berbicara. Tapi kalo ngambil tangannya ato berhentiin usapannya kok terkesan tidak sopan. Rasanya akan menjadi canggung.
Padahal GUE SANGAT TIDAK NYAMAN.
Hal ini dia lakukan kepada perempuan-perempuan lainnya. Dan perempuan-perempuan lainnya juga saat berkumpul, membuka suara mengakui bahwa mereka tidak nyaman dengan gesture dari Pak Amin tersebut. Tapi tidak ada yang berani mengatakan langsung kepada Pak Amin bahwa apa yang dia lakukan membuat kita tidak nyaman.
Pernah suatu waktu gue melihat Pak Amin mengusap-ngusap tangan salah satu perempuan di tengah rapat. Entahlah perempuan itu menikmati, atau sungkan menarik tangannya, yang jelas itu dilakukan terang-terangan seakan-akan hal tersebut lumrah.
Contoh lainnya, ada juga yang bernama Pak Yayan. Dia terkadang bisa melakukan gesture yang membuat bawahan perempuannya tidak nyaman. Bahkan pernah, saat tali bra salah satu bawahannya tidak sengaja terlihat di bagian pundak, dia tiba-tiba membantu membetulkan menyelipkan tali tersebut ke dalam blus.
Bawahannya cuma bisa cengengesan. Dalam hati mungkin merutuki. Siapa tau. Karena posisinya serba salah. Dia tidak bisa konfrontasi ke Pak Yayan, beliau atasannya. Dia tidak bisa mengadu kepada manajemen, karena banyak yang dikhawatirkan: Susah dibuktikan, nanti Pak Yayan sensi dan dia jadi dipersulit saat di kantor, belum lagi rasa malu diliat orang-orang kalau sampai cerita ini kemana-mana.
Gue juga pernah di posisi serba salah begitu.
Suatu hari naik kereta saat lagi padat-padatnya, bergeser saja sulit. Gue bener-bener terhimpit di tengah-tengah. Tau-tau, berasa ada yang ngegesek-gesekin sesuatu di pantat gue.
Okay, I’m not stupid. I’m not an innocent woman, I’m married and I know exactly what that thing is. Ada yang gesekin p*nisnya ke pantat gue.
Dari ujung rambut ke ujung kaki langsung dingin. Kaku. Gue bingung harus apa. Gue mau sikut dia tapi susah gerakin tangan gue. Gue mau geser berpindah tempat tapi gak bisa gerak. Kalo gerak pelan-pelan, gue takut malah semakin bikin dia “enak” karena badan gue yang menggeser pelan-pelan. Gue mau berbalik teriak marahin dia, tapi gue… takut.
Iya, takut.
Izinkan gue flashback sebentar.
Dulu, gue kuliah di Akademi Sekretari T di daerah Jakarta Timur. Agak terpencil lokasinya hahaha. Karena itu banyak yang ngekost di dekat kampus dan baru balik ke rumah orang tua saat weekend. Trus karena kampus calon-calon sekretaris, otomatis isinya cewek-cewek semua. Sasaran empuklah kita untuk menjadi korban pelecehan seksual. Tanya aja ke semua mahasiswa aksek T yang kampusnya di situ, waduh obrolan tentang PK (Penjahat Kelamin, sebutan kita untuk pelaku pelecehan) seru dan sama banyaknya dengan obrolan kita tentang setan ato kejadian mistis di kampus lol.
Seru tapi ngenes.
Kalo di list banyak banget kejadian yang gue sendiri mengalami secara langsung tidak langsung:
1. Pagi-pagi (IYA PAGI-PAGI) di depan kostan ada cowok berdiri depan pagar dan nanya ke kita “Mbak, mbak, ini depan pagernya kenapa nih?”. Gue posisinya lagi di ruang tamu, tapi salah satu kakak kelas yang lagi di teras langsung nyamperin dan ngecek apa yang dimaksud. Ternyata, si mas kasih liat p*nisnya. Kampret.
2. Malem-malem, habis dari makan malem berempat, pulang ke kostan dengan posisi lagi di pintu pager. Kebetulan, gue yang paling depan jadi gue yang buka gembok pagar. Ada motor lewat. Pas gue udah ngebuka pintu, belom sempet masuk eh temen-temen gue udah pada menghambur masuk semua ke dalem dengan panik. Tangannya pada dingin semua. Semua kayak abis ngeliat setan. Taunya, mas yang naik motor barusan, lewat sambil ngangkang dan kasih liat p*nisnya. Iya, kampret.
3. Siang-siang pulang kuliah, di jalan balik ke kostan di dekat salah satu tiang, ada cowok berdiri sendirian. Temen gue yang udah ngeliat duluan, langsung narik gue dan ngajak mampir tukang jus dulu. Baru di tempat tukang jus dia jelasin ada apa. Ternyata cowok tadi lagi on@ni. Kampret banget.
4. Lagi jalan sama temen sore-sore pulang kuliah. Yang namanya anak kuliah bubaran ya, pasti jalannya entah berdua, bertiga, ato satu geng gitu. Tapi mencar-mencar, di depan ada yang berdua, di belakang gue dan temen gue ada yang bertiga. Nah tau-tau ada motor lewat, ngueeennggg! Eh sambil lewat, t*ket temen gue diremes sama dia dong. Tau-tau kita udah denger temen gue itu jerit terus pada heboh di belakang. Kampret banget banget.
5. Sumfe masih banyak kasus serupa lainnya tapi ga bakal gue list lagi.
Kalo kalian perhatikan, di kejadian-kejadian itu gue ada tapi ga menimpa langsung ke gue. Dan gue bingung kenapa temen-temen gue jadi freeze semua kebanyakan kalo ngeliat orang kayak gitu, kenapa langsung jadi pada pucet dan memilih untuk diem langsung pergi. Ludahin aja. Sinisin aja. Katain aja “Cih, t!t!t kecil aja dipamerin!”
Intinya jangan diem aja.
Tapi… pas kejadian di gue. Ternyata gue juga cuma bisa diem, dan ngerasa dingin sebadan-badan. Berasa kaku, berasa takut, berasa kuatir ini kuatir itu.
Pertama kali gue ngalamin kejadian frontal selain di kereta adalah di angkot. Pagi-pagi di pojokan, cowok depan gue on@ni sambil ngeliatin gue. Pas gue ngeh, gue bener-bener bingung harus gimana. Akhirnya gue memilih untuk teriak “Kiri!” ke abang supir dan berenti di salah satu SD Negeri. Gue bahkan ga bilang ke si abang supir bahwa salah satu penumpangnya itu sakit jiwa. Gue terlalu takut dan banyak mikir. Gue kuatir si PK marah dan ikutan turun trus ngejer gue. Gue takut dia berusaha meluk gue. Gue takut ini iu dan khawatir ini itu.
Begitupun saat di kereta. Gue takut kalo gue konfrontasi, trus dia bilang gue kegeeran, gimana? Kalo gue konfrontasi dan orang-orang cuma liatin gue dengan iba tapi ga ada yang bantuin gue, gimana? Gue sampe bisa mendengar nafas dia terengah-engah di belakang gue. Iya, semenjijikkan itu. Tapi gue cuma bisa diem. Dan mikir ribuan gimana kalo.. gimana kalo.. gimana kalo.. di dalem otak gue. Gue lirik kiri kanan berharap someone notice. Untungnya, arah ke Tangerang itu jarak setiap stasiun ga jauh. Jadi saat kereta berhenti di salah satu stasiun, otomatis di dalem ada pergeseran penumpang memberi jalan untuk penumpang yang mau turun. Gue langsung buru-buru geser menjauh dan mepet ke salah satu penumpang perempuan.
Mungkin contoh-contoh di atas terlalu ekstrim ya. Mungkin ga semuanya pernah mengalami pelecehan seperti itu. Tapi sayangnya, pelecehan seksual itu bukan hanya dalam bentuk seperti itu. Pelecehan seksual tak hanya remas-remas, memperlihatkan kelamin.
Omongan pun bisa melecehkan. Dan ini yang sayangnya, juga seringkali kita sambut dengan diam, dengan senyum ga nyaman, dengan tawa palsu berusaha menutupi suasana canggung.
Balik lagi ke Pak Amin ya.
Pak Amin ini pernah komentarin gue keliatan agak gemuk. Trus pas gue diet menjelang mau nikah, dia pernah loh di depan orang banyak ngeliat gue masuk ke ruangan bilang “Wah, top, udah oke nih lekuknya.” Lalu dia diem sejenak merhatiin badan gue dan lanjutin “Cuma kurang perutnya aja tinggal dikempesin sedikit lagi.” dengan gerakan tangan untuk menjelaskan maksudnya.
Gue? Cuma bisa hehehehehehe sambil lanjut ambil posisi untuk duduk dan mulai rapat. Yes, people, komentar itu keluar di tengah rapat dengan belasan pasang mata memandang gue.
Ga cuma sekali dua kali. Dia seringggg banget komentarin badan gue dan perempuan lainnya. Seakan-akan dia sedang memberi saran bagus untuk kita. Seakan-akan komentarnya bisa memotivasi kita. Seakan-akan kita harus bangga sama pujiannya ketika dia dengan gerakan tangan membentuk gelombang biola gitu bilang “Wah, bagus loh badanmu, mantap.” kemudian tunjukin jempolnya dengan mata masih merhatiin badan kita.
Oh ya? Badan saya bagus ya? Oke then let me tell you something…
My eyes are up here and… FUCK YOU.
FUCK YOU, YOU DISGUSTING OLD PERVERT, FUCK YOU!!
Dan tentu saja itu cuma ada di otak gue saja 🙂
Gue cuma bisa berusaha memberikan senyum palsu. Seakan-akan itu satu-satunya pilihan yang bisa gue lakukan. Untuk mempertahankan being polite.
Menyedihkan sekali ya.
Sebagai perempuan, bahwa kita tidak bisa lebih vokal menunjukkan ketidaknyamanan kita terhadap pelecehan seksual yang kita alami.
Bahwa ada begitu banyak pertimbangan yang harus kita pikirkan hanya untuk sekadar menunjukkan bahwa “NO, IT’S NOT OKAY.”
Bahwa saat ada perempuan yang angkat bicara mengenai pelecehan seksual, kita sesama perempuan cuma bisa berbisik di belakang, mengasihani dia, atau diam-diam mengagumi keberaniannya.
Bahwa banyak yang menyadari pelecehan seksual sedang terjadi di depan matanya tapi hanya diam, atau ikut diam bersama dengan diamnya korban.
Bahwa ketika itu terjadi pada orang lain, mudah bagi kita berpikir kok dia gak begini sih, kok dia gak begitu sih, kok dia diem aja sih, kok dia bego sih gak begini, kok dia mau aja sih digituin.
Bahwa kita sesama perempuan pun seringkali tidak bisa membela perempuan yang menjadi korban.
Menyedihkan sekali ya.
Kenyataan bahwa kita, ketika akhirnya bersuara pun, seringkali langsung diredam.
Atau dibilang cari perhatian.
Ternyata, perjuangan Kartini belum selesai.
Kita masih butuh lebih banyak Kartini.